A. KAJIAN, HUKUM ISLAM TENTANG ETIKA EKONOMI
1. Sumber Hukum Ekonomi Islam
Keunikan
hukum Islam ialah karena keluasan dan kedalaman asas-asasnya mengenai
seluruh masalah umat manusia yang berlaku sepanjang masa. Seluruh dasar
dan sumber hukum Islam merupakan mukjizat yang tetap dan kekal, mukjizat
dalam arti hukum Islam tidak hanya dapat dibandingkan dengan hukum
pasang surut, tetapi juga dengan hukum, "Gaya berat yang sederhana
tetapi eksak... pada tingkatan ini perlu mendalami dasar dan sumber
hukum Islam yang sebenarnya, untuk menetapkan bahwa itu adalah bimbingan
tetap bagi umat manusia di setiap zaman yang akan datang. Kita semua
mengetahui bahwa pada dasarnya ada empat sumber hukum Islam, yaitu
al-Qur'an, Al-Hadits, Ijma', Qiyas dan ljtihad".1
Peraturan
ekonomi dalam Islam mencakup dua macam pelajaran dan hukum-hukum.
Pertama, bagian yang tetap atau muhkam, yang di dalamnya tidak terdapat
peluang untuk ijtihad. Bakunya bagian ini sudah merupakan ketetapan
Allah SWT, dengan tujuan supaya manusia memperoleh ketenangan di tengah
kehidupan atau lingkungan masyarakatnya. Dari masa ke masa tatanan
tersebut tidak berubah, sekalipun hanya karena suatu hal yang remeh.
Kebakuan hukum itu menyebabkan Islam memiliki satu kesatuan pikiran,
rasa dan perbuatan bagi umat, dan menjadikannya satu umat dalam arahan,
tujuan dan persepsi. Adapun pemilikan pribadi, penetapan warisan
termasuk dalam hal muhkamat yang sudah baku. Bukanlah merupakan
kemaslahatan umat untuk menetapkan bahwa segala sesuatu itu bisa diubah
dan diganti. Kedua, kedudukan yang bisa berubah atau bersifat temporal.
Bagian ini merupakan peluang bagi para mujtahid ahli fiqh, ahli konsep
dan ahli fatwa untuk melakukan ijtihad seperti penggunaan lahan
pertanian bukan oleh pemiliknya, apakah meminjam atau menyewa.2
Hal
ketiga adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli fikir
dan pengusaha ahli politik tentang hukum. Perbedaan pendapat menjadi
rahmat bagi manusia jika para fuqoha berijtihad untuk masalah
kontemporer dan meninggalkan masalah yang sudah tidak relevan lagi
dibicarakan. Berijtihad bisa melalui pemahaman kontekstual terhadap
nash, analogi atau dengan mencari kemaslahatan dan menjauhkan mafsadat.3
Jumhur ulama salaf maupun khalaf sepakat, aturan hukum dalam
syari'at Islam itu mempunyai tujuan tertentu. Tujuan syari'at Islam itu
dapat dipahami dan diterima oleh akal pikiran manusia, kecuali hal-hal
yang bersifat ta'abuddi dan sesuatu yang hikmahnya tidak ma'qul (tidak
dapat dipahami akal).4
Allah tidak membuat sesuatu ketetapan
kecuali yang sesuai dengan hikmah, dapat mewujudkan maslahat menjadi
kenyataan, karenanya pula apa yang dibolehkan-Nya maka itu adalah
bermanfaat dan baik, dan apa yang diharamkan-Nya maka itu adalah merusak
dan kotor atau jelek.5 Prinsip ini telah merupakan kemantapan
berdasarkan penelitian yang mendalam serta pemeriksaan yang teliti
terhadap ketetapan-ketetapan hukum syari'at yang kesemuanya ditetapkan
untuk merealisasi kemaslahatan manusia, baik untuk meraih keuntungan
baginya ataupun buruk untuk menghindarkan dari sesuatu yang merugikan.6
Firman Allah SWT dalam al-Qur'an, sebagai berikut:
"Tidaklah Kami mengutus engkau kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam" (Q.S. al Anbiyaa: 107).
Kiranya
di antara rahmat Allah SWT terhadap manusia dalam menetapkan syari'at
itu, ialah bahwa Allah sengaja memelihara keseimbangan antara
kemaslahatan perorangan dengan kepentingan masyarakat, apa yang
ditetapkan oleh syari'at sebagai kebolehan atau kewajiban yang
difardhukan atas manusia, maka itu bermanfaat murni bagi manusia,
ataupun manfaatnya lebih besar dari mudharatnya atau dia dapat
merealisasikan manfaat untuk jumlah manusia yang terbesar, dan apa yang
ditetapkan oleh syari'at sebagai keharaman atau makruh maka itu adalah
disebabkan karena ia murni tidak baik, atau kerusakannya lebih besar
dari manfaatnya, atau karena ia merusak kepentingan jumlah terbesar
manusia.7
Al-Syatibi mengatakan: "Pembebasan (taklif) syari'at
itu manfaatnya kembali kepada pemeliharaan tujuan-tujuannya pada
makhluk, den tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut: Tujuan yang
bersifat dharuriyat (primer), tujuan yang bersifat hajiyat (sekunder),
dan tujuan yang bersifat tahsiniyat (pelengkap). Setelah itu, ia
menyebutkan jumlah tujuan yang bersifat dharuriyat itu menjadi lima
bagian: Memelihara addin (agama), jiwa, keturunan, harta den akal. Para
ulama sepakat, bahwa bagian yang lima tadi sebagai tujuan dharuriyat
(primer) yang harus dipelihara dalam setiap agama.8
Menurut
al-Ghazali (w. 505 H.)9 : "Tujuan utama syari'ah adalah meningkatkan
kesejahteraan manusia, yang terletak pada perlindungan iman, hidup,
akal, keturunan dan harta. Apa saja yang memantapkan perlindungan kelima
hal ini merupakan kemaslahatan umum dan dikehendaki".
Sedangkan
Ibnu al-Qayyim (w. 751 H.)10 menyatakan bahwa: "Dasar syari'ah adalah
kebijaksaan dan kemaslahatan manusia dalam kehidupan di dunia dan
akhirat. Kemaslahatan itu terletak pada keadilan, belas kasihan,
kesejahteraan dan kebijaksanaan yang sempurna. Apapun yang menyimpang
dari keadilan pada penindasan, dari belas kasihan pada kekerasan dari
kesejahteraan pada kemiskinan dan dari kebijaksanaan pada kebodohan
adalah sama sekali tidak ada kaitannya dengan syari'at.
Jika
kemaslahatan para hamba yang diberi taklif tersebut terpelihara dalam
serangkaian ibadah dimana ta'abud adalah maksud utamanya, maka demikian
pula dengan urusan muamalah yang mengatur kehidupan mereka baik
individu, keluarga, masyarakat dan bangsa.11
Bila berbicara
tentang muamalah, maka suatu pembedaan harus ditarik antara bagian dari
hukum (Fiqh) Islam yang membahas hukum dagang (Fiqh Mu'amalah) dan
ekonomi Islam. Bagian yang disebut pertama menetapkan kerangka di bidang
hukum untuk kepentingan bagian yang disebut belakangan, sedangkan yang
disebut belakangan mengkaji proses dan penanggulangan kegiatan manusia
yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat
muslim.12
Ekonomi sebagai salah satu ilmu sosial, perlu kembali
pada sejarah agar dapat melaksanakan eksperimen-eksperimennya Dan
menurunkan kecenderungan-kecenderungan jangka jauh dalam berbagai
perubahan ekonomiknya. Sejarah memberikan dua aspek utama pada ekonomi,
yaitu sejarah pemikiran ekonomi dan sejarah unit-unit ekonomi seperti
individu-individu, badan-badan usaha dan ilmu ekonomi itu sendiri.
Penelitian diperlukan untuk menampilkan para pencetus ekonomi Islam dari
para pemikir besar Islam seperti Abu Yusuf (meninggal tahun 182 H),
Yahya bin Adam (meninggal tahun 303 H), Al Gazali (meninggal tahun 505
H), Ibnu Rusyd (meninggal tahun 660 H), Al Farabi (meninggal tahun 339
H), Ibnu Taimiyah (meninggal tahun 728 H), Al Maqrizi (meninggal tahun
845 H), Ibnu Khaldun (meninggal tahun 808 H), dan banyak lagi yang
lainnya.13
Kajian tentang sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam
seperti itu akan membantu menemukan sumber-sumber pemikiran ekonomi
Islam kontemporer, di satu pihak, dan di lain pihak, akan memberikan
kemungkinan kepada mereka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik
mengenai pemikiran ekonomi Islam selama ini. Kedua-duanya akan
memperkaya ekonomi Islam kontemporer dan membuka jangkauan lebih luas
konseptualitas dan aplikasinya.14
Dari uraian tersebut di atas,
penulis berkesimpulan bahwa tujuan risalah yang dibawa Nabi SAW adalah
merupakan rahmat untuk seluruh alam. Di antara tujuan syari'ah adalah
untuk kemaslahatan hidup manusia, baik yang dharuri, khajian dan
tahsiniyah. Oleh karena itu, para ulama dituntut bagaimana caranya
supaya menjadi manusia muslim dalam menjalankan ajaran Islam dengan
sungguh-sungguh, baik dalam bidang ekonomi maupun bidang yang lainnya.
Apabila mereka melaksanakan sesuai dengan ajaran Islam, maka
dimungkinkan tercapainya pemerataan pendapatan, yang dicita-citakan
manusia muslim, yaitu negara adil dan makmur yang mendapat ridha Allah
SWT.
Hukum Islam sebagai latar belakang untuk memahami hukum dan
asas-asas ekonomi, atau secara rasional menentukan sejauh mana pengaruh
pengetahuan yang bukan wahyu dalam menetapkan fiqh atau hukum Islam.
Penafsiran dan penerapan pengetahuan yang diwahyukan, dan pengetahuan
hukum bukan wahyu, menyebabkan berbeda-bedanya mazhab fiqh.
Perbedaan-perbedaan pendapat antara mazhab fiqh itu berkaitan dengan
berbagai soal kepentingan manusia, yang turut ditentukan pula oleh
syari'at.15
Di antara mazhab-mazhab fiqh, yang terpenting
adalah: mazhab yang didirikan oleh Abu Hanifah 80 H - 150 H (699 - 767
M), terkenal sebagai mazhab Hanafi, Malik Ibn Anas, 95 H - 179 H (713 -
795 M), terkenal sebagai mazhab Maliki, Muhammad Ibn Idris al Syafi'i,
150 - 204 H (767 -820 M), terkenal sebagai mazhab Syafi'i, dan Ahmad Ibn
Hanbal, 169 - 241 H (780 - 855 M), terkenal sebagai mazhab Hanbali.
Dinamika hukum Islam ini memberikan sistem asas berbeda-beda yang dapat
digunakan untuk menjelaskan berbagai masalah sosio-ekonomik yang
dihadapi oleh negara-negara muslim modern, dan untuk memecahkan
persoalan dengan cara yang dibenarkan Islam. Masalah pembangunan dan
perencanaan ekonomi, bekerjanya perbankan Islam berdasarkan pembagian
laba, keadilan, partisipasi dan sewa-beli, organisasi pasar keuangan
Islam, masalah inflasi, pengangguran dan jaminan sosial, maupun sejumlah
besar masalah ekonomi modern lainnya dapat diselidiki dari segi
pandangan nilai-nilai Islam.16
Dinamika masa lampau yang lamban
harus memberikan jalan pada pertumbuhan kehidupan modern yang cepat,
namun prinsip pokok dan petunjuk-petunjuk tentunya akan tetap sama,
seperti juga kebenaran adalah tunggal dan utuh. Dengan demikian prinsip
Islam tentang kebaikan dan kebenaran, keadilan dan kewajaran, kejujuran
dan kebajikan, pada hakekatnya begitu dinamis dan abadi sehingga mampu
menangani berbagai masalah sosio-ekonomi yang timbul dari rumitnya
peradaban masa kini.17
Kajian-kajian tentang ekonomi Islam
lebih-lebih setelah teori-teori ekonomi Islam itu diterapkan di sektor
perbankan dan keuangan di negara-negara Islam dan negera-negara maju,
terutama di Eropa Barat, mulai timbul minat untuk ikut mengkaji ekonomi
Islam.18
Ketika diadakan konfrensi Islam sedunia pertama tentang
ekonomi Islam di Mekkah, yang disponsori oleh Universitas King Abdul
Aziz, tahun 1976, Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddieqy
menyampaikan katalog biografi tentang referensi yang pernah diterbitkan
seputar ekonomi Islam. Katalog yang tebalnya beberapa ratus halaman
tersebut diterbitkan dalam tiga bahasa: Arab, Urdu dan Inggris.
Begitulah perhatian terhadap ekonomi Islam makin meluas. Seminar untuk
membahas hal ini diadakan di mana-mana, baik terbuka untuk umum, maupun
untuk kalangan khusus.19
2. Etika Ekonomi Islam
Dalam
masyarakat, manusia mengadakan hubungan-hubungan, antara lain hubungan
agama, keluarga, perdagangan, politik dan sebagainya. Sifat hubungan ini
sangat rumit dan coraknya berbagai ragam. Hubungan antara manusia ini
adalah sangat peka, sebab sering dipengaruhi oleh emosi yang tidak
rasional, mudah dimengerti, bahwa orang-orang yang hidup dalam
masyarakat berusaha, di satu pihak melindungi kepentingan masing-masing
terhadap bahaya-bahaya dari masyarakat itu sendiri. Sedang di lain pihak
senantiasa berusaha untuk saling tolong menolong dan mengutamakan
kepentingan bersama. Demikian juga berbagai suku dengan berbagai
kebiasaan, dalam kata sehari-hari disebut adat kebiasaan. Namun demikian
manusia selalu berusaha agar tercapai kerukunan dan kebahagiaan di
dalam suatu masyarakat. Timbullah peraturan baik tertulis maupun tidak,
yang disebut etika, norma, kaidah, tolak ukur, standar atau pedoman.20
Yang
membedakan Islam dengan materialisme ialah, bahwa Islam tidak pernah
memisahkan ekonomi dengan etika, seperti halnya tidak pernah memisahkan
antara ilmu dengan akhlak, politik dengan etika, perang dengan etika,
dan kerabat sedarah sedaging dengan kehidupan Islam.
Islam juga
tidak memisahkan agama dengan negara, materi dengan spiritual;
sebagaimana halnya yang dilakukan Eropa dengan konsep sekularismenya.
Begitu pula Islam berbeda dengan konsep kapitalisme yang memisahkan
akhlak dengan ekonomi. Manusia muslim individu, maupun kelompok, dalam
lapangan ekonomi atau bisnis, di satu sisi diberi kebebasan untuk
mencari keuntungan sebesar-besarnya. Namun di sisi lain, ia terikat
dengan iman dan etika sehingga ia tidak bebas mutlak dalam
menginvestasikan modalnya atau membelanjakan hartanya.21
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan etika ekonomi
Islam terdapat beberapa norma yang diperlukan di antaranya:
a. Ketuhanan
Ekonomi
Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik
tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan menggunakan sarana
yang tidak lepas dari syari'at Allah. Aktivitas ekonomi seperti
produksi, distribusi, konsumsi, impor dan ekspor tidak lepas dari titik
tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk Allah. Kalau seorang Muslim
bekerja dalam bidang produksi, maka itu tidak lain karena ingin memenuhi
perintah Allah. Firman Allah dalam al-Qur'an, sebagai berikut:
"Dia
yang menjadikan bumi untukmu dengan mudah kamu jalani, maka berjalanlah
kamu di segala penjurunya dan makanlah sebagian rezeki Allah dan hanya
kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan" (Q.S. al Mulk: l5).
Ketika
seorang muslim menikmati berbagai kebaikan, terbetik dalam hatinya
bahwa semua itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.
Maka merupakan suatu kewajiban bagi seorang Muslim untuk mensyukuri
segala nikmat itu. Banyak ayat yang menunjukkan bahwa rezeki yang
diperoleh seorang Muslim dari Allah bertujuan agar ia bersyukur.22
Diantara ayat yang menyatakan, firman Allah dalam al-Qur'an:
"... Dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur" (Q.S. al Anfaal: 26).
Dari
uraian di atas, menjadi jelas bahwa seorang muslim dalam berbisnis jika
ia berpaling dari keyakinan kepadal Allah SWT adalah tidak dibenarkan,
karena harta itu datangnya dari Allah digunakan untuk melaksanakan
perintah Allah dan ia akan kembali kepada Allah SWT.
b. Etika
Etika
pada umumnya didefinisikan sebagai suatu usaha yang sistematis dengan
menggunakan ratio untuk menafsirkan pengalaman moral individual dan
sosial sehingga dapat menetapkan aturan untuk mengendalikan perilaku
manusia serta nilai-nilai yang berbobot untuk dijadikan sasaran dalam
hidup.23
Dari penjelasan di atas dapat dirumuskan bahwa etika
sebagai studi moral. Namun istilah etika berbeda-beda. Kadangkala etika
digunakan dengan pengertian moral, tindakan yang secara moral dianggap
baik disebut beretika.24
Bisnis adalah bagian yang terpenting
dari masyarakat. Secara sadar dan dengan berbagai cara manusia terlibat
dalam pembelian barang-barang dan jasa yang dibutuhkan untuk memberikan
kenikmatan bagi hidupnya. Dengan demikian bisnis bukanlah sesuatu yang
terpisah dari masyarakat, namun dengan segala kegiatannya merupakan
bagian yang integral dari masyarakat.
Moral terdiri dari
seperangkat peraturan yang memonitor perilaku manusia serta menetapkan
sesuatu perbuatan yang buruk atau yang baik atau bermoral. Bisnis adalah
kegiatan manusia dan karena itu harus dapat dinilai dari sudut moral.
Bahkan hubungan bisnis dan moral mendalam sekali. Seperti semua kegiatan
lainnya, maka bisnis juga mempunyai latar belakang moral dan tak
mungkin tanpa itu, contohnya; majikan mengharapkan para karyawannya
tidak akan mencuri barang-barang milik perusahaan.25
Islam
adalah risalah yang diturunkan Allah melalui Rasul SAW untuk memperbaiki
akhlak manusia. Nabi SAW bersabda dalam suatu Hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah R.A.:
إنما بعثت لاتمم مكارم الأخلاق (رواه احمد).
"Sesungguhnya saya diutus hanyalan untuk menyempur-nakan akhlak manusia (HR. Ahmad).26
Masyarakat
muslim tidak bebas tangan tanpa kendali dalam memproduksi segala sumber
daya alam, mendistribusikannya, atau mengkonsumsikannya. Ia terikat
dengan ikatan akidah dan etika mulia, di samping juga dengan hukum-hukum
Islam.
Berikut ini adalah contoh aturan Islam: "Masyarakat
musyrik Mekkah terus melaksanakan ibadah haji sampai tahun kesembilan
hijriah. Dalam manasik haji ala musyrik Mekkah ada suatu kejanggalan.
Contohnya dalam melaksanakan tawaf, mereka melakukannya dengan telanjang
bulat. Menurut mereka, hal itu dilakukan agar pakaian yang berlumuran
dosa tidak menyentuh tubuh mereka. Nabi SAW pada tahun itu hendak
membersihkan Mesjid al-Haram dari segala bentuk berhala dan tradisinya.
Maka beliau mengutus Ali menemui Abu Bakar yang ada pada tahun itu
menjadi Amirul Haji, untuk mengumumkan kepada mereka di tahun haji itu:
"Bahwa sejak saat ini tidak boleh seorang musyrik pun melaksanakan haji.
Dan tidak dibenarkan seorang pun untuk tawaf tanpa busana".27
Dari
uraian di atas etika atau moral adalah merupakan ajaran yang paling
urgen sekali dalam Islam karena Nabi SAW diutus untuk memperbaiki akhlak
manusia. Demikian juga dalam bidang ekonomi, pelaku bisnis penting
sekali memiliki moral yang baik, karena bila tidak demikian ia akan
berbuat curang atau menyimpang dalam melakukan bisnisnya. Hal demikian
itu akan terjadi kerugian dalam masyarakat konsumen yang menjadi sasaran
pelaku-pelaku bisnis yang tidak bermoral. Kesimpulannya apabila di
dunia bisnis, penjual, pembeli, produsen, manajer, karyawan, distributor
dan konsumen berperilaku tidak bermoral, maka pasti seluruh kegiatan
bisnis akan kacau. Karena suatu kegiatan yang dialami setiap hari.
c. Kemanusiaan
Di
samping bercirikan ketuhanan dan moral, sistem ekonomi Islam yang
berkarakter kemanusiaan. Ide kemanusiaan berasal dari Allah. Dengan kata
lain, substansi kemanusiaan berasal dari ketuhanan. Allah yang
memuliakan manusia dan menjadikan khalifah di muka bumi. Tujuan
ketuhanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fitrah manusia
dilahirkan dengan fitrah ketuhanan.28
Tujuan ekonomi Islam
adalah menciptakan kehidupan manusia yang aman dan sejahtera, jika
sistem ekonomi Islam itu bersandarkan pada nash al-Qur'an dan as-Sunnah
yang berarti nash ketuhanan, maka manusia berperan sebagai yang
diserukan dalam nash itu. Manusialah yang memahami nash, menafsirkan,
menyimpulkan, dan memindahkannya dari teori untuk diapli-kasikannya
dalam praktek. Dalam ekonomi Islam manusia adalah tujuan dan sarana.29
Dengan
demikian manusia diwajibkan melaksanakan tugasnya terhadap Allah,
terhadap dirinya, keluarganya, umatnya dan seluruh umat manusia. Berkat
izin Allah manusia bisa bekerja. Manusialah yang menjadi wakil Allah di
muka bumi ini. Firman Allah dalam al-Qur'an, sebagai berikut:
"Ingatiah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi" (Q.S. al Baqarah: 30).
Dari
uraian di atas menjadi jelas bahwa Allah memberikan kekuatan dan alat
kepada manusia sehingga bisa melaksanakan tugasnya dengan baik. Dengan
demikian manusia dan faktor kemanusiaan merupakan unsur utama. Faktor
kemanusiaan dalam ekonomi Islam terdapat dalam kumpulan etika yang
terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits serta ijtihad para ulama yang
mencakup etika, kebebasan, kemuliaan, keadilan, sikap moderat dan
persaudaraan sesama manusia. Kesimpulannya etika Islam mengajarkan
manusia untuk menjalin kerja sama, tolong menolong, memberi kebebasan,
dan menjauhkan setiap iri, dengki dan dendam kepada sesamanya.
d. Keseimbangan
Salah
satu sendi utama ekonomi Islam ialah sifatnya yang pertengahan
(keseimbangan) jiwa tatanan dalam Islam adalah keseimbangan yang adil.
Hal ini terlihat jelas pada sikap Islam terhadap hak individu dan
masyarakat, kedua hak itu diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil
(pertengahan) tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati,
perumpamaan dan kenyataan. Islam juga bersikap di tengah-tengah(wasat)
antara iman dan kekuasaan. Ekonomi moderat tidak menganiaya masyarakat
khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis.
Islam juga tidak menganiaya hak individu sebagaimana yang dilakukan
olieh kaum sosialis, terutama komunis, tetapi di tengah-tengah antara
keduanya. Islam mengakui hak individu dan masyarakat, juga meminta
mereka melaksanakan kewajiban masing-masing. Dengan demikian Islam
menjalankan peranannya dengan penuh keadilan serta kebijaksanaan.30
Dari
uraian di atas menjadi jelas bahwa Islam meletakkan ekonomi pada posisi
tengah dan keseimbangan yang adil dalam bidang ekonomi, keseimbangan
diterapkan dalam segala segi, imbang antara modal dan usaha, antara
produksi dan konsumsi, antara golongan-golongan dalam masyarakat.
Demikian juga keseimbangan yang adil (pertengahan) tentang kehidupan
dunia dan akhirat, segala kesenangan dunia digunakan untuk menunjang
kepentingan akhirat dan segala macam ajaran keakhiratan digunakan untuk
meraih keduniaan agar tidak menyimpang dari rel agama. Kesimpulannya
terhadap ekonomi yang demikian ini Allah menyediakan dua kebahagiaan
yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat sebagai balasan dari niatnya yang
ikhlas, mereka akan bebas dari siksa neraka. Firman Allah dalam
al-Qur'an, menjelaskan sebagai berikut:
"Dan di antara mereka ada
orang yang berdo'a:`Ya Tuhan kami berilah kami kebahagiaan di dunia dan
kebaikan di akhirat dan periharalah kami dari siksa neraka" (Q.S. al
Baqarah: 201).
B. KAJIAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMERATAAN PENDAPATAN
Islam
merumuskan suatu sistem ekonomi yang berbeda sama sekali dari
sistem-sistem yang sedang berlaku. Ia memiliki akar dalam syari'ah yang
menjadi sumber pandangan dunia sekaligus tujuan-tujuan dan strateginya.
Berbeda
dari sistem sekuler yang mengusai dunia dewasa ini, tujuan-tujuan Islam
(maqasid asy-syari'ah) adalah bukan semata-mata bersifat materi. Justru
tujuan-tujuan itu didasarkan pada konsep-konsep sendiri mengenai
kesejahteraan (falah)31 untuk manusia dan kehidupan yang baik (hayat
thayyibah) yang memberikan nilai sangat penting bagi persaudaraan dan
keadilan sosio-ekonomi dan menuntut suatu kepuasan yang seimbang, baik
dalam kebutuhan-kebutuhan materi maupun rohani dan seluruh umat manusia.
Ungkapan hayat thayyibah, berasal dari ayat al-Qur'an sebagai berikut:
"Barangsiapa
yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik32 dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka
dengan pihak yang lebih baik dari apa yang lebih baik yang telah mereka
kerjakan" (Q.S. an Nahl: 97).
Dari uraian di atas untuk
mencapai tujuan-tujuan syari'ah (maqashid syari'ah), kesejahteraan
(falah) dan hayat thayyibah (kehidupan yang baik), supaya pemerataan
pendapatan bisa tercapai maka apabila etika bisnis dibicarakan dalam
konteks mu'amalah sehari-hari dapat dikenali tiga orde aksioma. Orde
pertama mencakup (a) tauhid (b) keseimbangan (c) kebebasan dan (d)
pertanggungjawaban. Ini berarti seorang yang melaksanakan
kepemimpinannya di dunia, ia bebas melakukan sesuatu untuk kepentingan
dirinya sendiri dan untuk masyarakat luas harus memelihara kesaimbangan
kehidupan di dunia (alam lingkungan) dan bersikap mempertanggungjawabkan
di akhirat. Dan semuanya itu terekam dalam aksioma orde kedua, yakni
niat karena Allah, tujuan mardlatillah dan kaifiat (cara-cara). Ketiga
orde kedua ini harus berasosiasi dengan aksioma orde ketiga, yakni
sinergi antara iptek, fiqh dan tasawuf.33
Selanjutnya Murasa
Sarkaniputra menyatakan dari pemikiran as-Syatibi dapat diketahui bahwa
konsep maslahat menurunkan orde needs (kebutuhan) yang terbagi dalam;
dlaruri, hajji dan tahsini. Konstitusi, baik yang tertulis seperti
terekam pada UUD 1945, dan yang tidak tertulis seperti nilai, norma,
believe dan lain-lain harus diterjemahkan dan dijabarkan berdasarkan
konsep di atas. Jika tidak, maka seseorang akan terjebak pada acuan
syaitan.34 "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu"
(Q.S. Yasin (36): 60). Berbicara tentang pasal 27 ayat (2) UUD 1945,
"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemakmuran". Dalam konteks as-Syatibi, tuturnya harus
diterjemahkan pasal itu melalui pendekatan sinergis dengan pasal 33 dan
pasal 29.
Karena Pancasila adalah ideologi terbuka, dan UUD 1945
adalah terbuka untuk dibicarakan dan dikembangkan menurut konstitusi
yang belum tertulis sebagai produk suatu bangsa, maka kitab suci harus
menjadi acuan bagi pemeluk-pemeluknya. Inilah yang disebut demokrasi
dalam memilih suatu agama dan bebas dalam menafsirkannya sehingga
masyarakat memperoleh kepuasan tertinggi dalam amal perbuatannya. Dan
dengan demikian, maka mardlatillah adalah domein utama dalam kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan ini maka paradigma yang menjamin
pemerataan pendapatan menurut Islam yaitu: Tingkat bunga pinjaman nol
persen, pembagian hasil usaha berdasarkan profit-loss sharing, dan
komoditi yang diproduksikan adalah yang thayyib dan halal adalah
konsisten dengan ketiga orde di atas, sekaligus sebagai penjabaran dari
Pancasila dan UUD 1945.35
1. Tingkat bunga pinjaman nol persen
a. Riba Bunga Nol Persen
Adapun
riba, yang berasal dari bahasa Arab, artinya tambahan (ziyadah),
addition (Bahasa Inggris), yang berarti tambahan pembayaran atas uang
pokok pinjaman.36
Al-Jujani mendefinisikan riba sebagai berikut:
الربا فى الشرع هو فضل خال عن عوض شرط لأحد العاقدين
"Kelebihan
tambahan pembayaran tanpa ada ganti/imbalan, yang disyaratkan bagi
salah seorang dari dua orang yang membuat akad (transaksi).37
Misalnya
si A memberi pijaman kepada si B dengan syarat si B mengembalikan uang
pokok pinjaman beserta sekian persen tambahannya. Semua agama samawi
(Yahudi, Nasrani dan Islam) melarang praktek riba, karena dapat
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat pada umumnya dan bagi mereka
yang terlibat riba pada khususnya.
Adapun dampak akibat praktek riba itu, antara lain ialah:
1) Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin.
2)
Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke
dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan,
industh dan lain sebagainya yang dapat menciptakan lapangan kerja.
Banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik
modal sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam
perkreditan berbunga yang belum produktif.
3) Bisa menyebabkan
kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan
rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu mengembalikan pinjaman
dan bunganya. Riba sebagai salah satu cara menjajah, karena itu orang
berkata: Penjajahan berjalan di belakang pedagang dan pendeta. Dan telah
dikenal riba dengan segala dampak negatifnya di dalam menjajah suatu
negara. Islam menyerukan agar manusia suka mendermakan hartanya kepada
saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkannya.38
Karena
melihat bahaya besar atau dampak negatif dari praktek riba itulah, maka
Nabi Muhammad SAW membuat perjanjian dengan kelompok Yahudi yang tinggal
di Jaziratul Arab, bahwa mereka tidak dibenarkan menjalankan praktek
riba,39 dan Islam pun dengan tegas melarang riba.
Ibnul Qayyim sebagaimana dikutip oleh Abdurrahman Isa menerangkan bahwa riba ada dua macam, ialah:
1)
Riba yang jelas yang diharamkan karena keadaannya sendiri, yaitu
riba nasiah (riba yang terjadi karena adanya penumpukan pembayaran
utang). Riba darurat (terpaksa),
2) Riba yang samar yang
diharamkan karena sebab lain, yaitu riba fadhl (riba yang terjadi karena
adanya tambahan pada jual beli benda/bahan yang sejenis). Riba fadhl
ini diharamkan karena untuk mencegah timbulnya riba nasiah, jadi
bersifat preventif.40
3) Riba fadhl ini diperbolehkan, apabila dalam keadaan darurat atau hajat (emergency), sesuai dengan kaidah fiqh:
الحاجة تنزل منزلة الضرورة والضرورة تبيح المحظورات
"Hajah
(keperluan yang mendesak/penting) itu menempati di tempat terpaksa,
sedangkan keadaan darurat itu menyebabkan boleh melakukan hal-hal yang
dilarang".41
Riba khafi tampaknya banyak terjadi dalam
masyarakat. Adanya bunga bank termasuk riba khafi. Riba khafi dibolehkan
apabila ada maslahat-maslahat yang dibenarkan adalah maslahat untuk
memelihara lima masalah pokok, yaitu: agama, jiwa, harta, akal dan
keturunan.42
Ahmad Sukarja berpendapat bahwa riba, besar atau
kecil adalah haram. Yang besar haram karena zatnya, yang kecil haram
karena untuk menutup terjadinya riba yang besar. Riba yang kecil
dibolehkan bila ada hajat atau maslahah.43
Para ahli ekonomi
kontemporer banyak membahas tentang riba dan bahayanya bagi kehidupan
masyarakat, baik dalam segi kemasyarakatan, ekonomi dan politik.
Sebagian dari mereka berkata, "Masyarakat kita akan berjalan pada
porosnya jika mereka bisa menurunkan nilai riba sampai kepada derajat
nol persen". Demikian pendapat ekonomi Inggris Lord Kent. Para pemikir
Islam juga menjelaskan keburukan riba dan dampak negatifnya terhadap
kehiduhan. Di antara mereka adalah Abul ‘Ala Al-Maududi, Prof. Dr.
Muhammad Darraz, Isa Abduh Al-Arabi, Abu Suud, Abu Zakrah, Ash-Siddieqy
dan lain-lain.44
b. Bank Islam dan Bank Konvensional
Adapun
bank, ada bank konvesional dan bank Islam. Bank konvensional, ialah
sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana, disalurkan
kepada yang memerlukan dana, baik individu maupun usaha-usaha yang
produktif dan lainnya dengan sistem bunga, sedangkan bank Islam, ialah
sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum Islam,
tanpa bunga yang dilarang oleh Islam.45
Para ulama hingga kini
masih tetap berbeda pendapat tentang hukum mu'amalah dengan bank
konvensional dan hukum bunga bank. Perbedaan pendapat itu dapat
disimpulkan sebagai diberikut:
1) Pendapat Abu Zahrah, Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Kairo, Abdul A'la Al-Maududi
(Pakistan), Muhammad Abdullah Al-Arabi, penasihat hukum pada Islamic
Kongres dan lain-lain yang menyatakan bahwa bunga bank itu riba nasiah,
yang dilarang oleh Islam.
2) Pendapat A. Hasan, pendiri dan
pemimpin Pesantren Bangil (Persis), ia menerangkan bahwa bunga bank
seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak
berlipat ganda sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali Imran ayat 130.46
3) Prosedur bunga berbunga menurut Murasa Sarkaniputra, sebagai berikut:
Log Uang A2010 = Log Uang A1999 + 11. Log (1+ i)
Penyelesaiannya
dengan menggunakan prosedur logaritma, diperoleh dari: Angka 11 adalah
tenggang waktu bagi orang yang menyimpan uang di bank, pada tingkat
bunga tertentu (i persen). dengan lamanya waktu tunggu, maka persamaan
di atas valid, apabila bunga bank tidak dilarang. Berbeda dendan
pendekatan sufistik, waktu adalah milik Allah SWT dan tambahan (bunga)
untuk uang yang disimpan adalah haram hukumnya, yang diibaratkan sebagai
ayam betina yang tidak bertelor dan hanya sebagai alat tukar serta
stotre of value, maka manfaat uang di bank merupakan hasil dari
investasi yang dikerjakan oleh masyarakat bisnis, ketika bisnis
memperoleh laba, maka para penabung dan investor sama-sama memperoleh
bagian darinya. Di sini ada delay (waktu) bagi sang penabung dan
investor, karena menunggu hasil kerja usahanya, maka delay diisi dengan
do'a, karena itu tingkat bunga dinolkan, sehingga persamaan di atas
menjadi:
Log Uang A2010 = Log Uang A1999 + 11. Log (1+ 0),
karena log 1 = 0, maka Uang A2010 = Log Uang A1999.47
4)
Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo Jawa Timur tahun
1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank
negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya, adalah termasuk
syubhat atau musytabihat, artinya belum jelas halal atau haramnya, maka
sesuai dengan petunjuk hadits, kita harus berhati-hati menghadapi
masalah-masalah yang masih syubhat itu. Oleh karena itu jika kita, dalam
keadaan darurat (terpaksa) atau kita dalam keadaan hajat, artinya
keperluan yang mendesak (penting), barulah diperbolehkan bermua'malah
dengan bank dengan sistem bunganya itu sekedarnya saja.48
Menurut
Mustofa Ahmad Al-Zarqa, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata
Universitas Syiria, bahwa sistem perbankan yang kita terima sekarang
ini, sebagai realitas yang tidak dapat kita hindari, karena itu umat
Islam boleh bermu'amalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan
dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Sebab umat Islam harus
berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa bunga, demi
menyelamatkan Islam dari cengkraman bank bunga (konven-sional).49
Menurut
Masjfuk Zuhdi, bahwa alasan ulama dan cendikiawan Muslim membolehkan
berdirinya bank Islam dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)
Umat Islam telah berada dalam keadaan darurat, sebab dalam kehidupan
modern sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa menghindari diri dari
bermuamalah dengan bank dengan sistem bunga dalam segala aspek
kehidupan, termasuk kehidupan agama atau ibadahnya.
2) Untuk
menyelamatkan umat Islam dari praktek bunga yang mengandung unsur
pemerasan (ekploitasi) dari si kaya terhadap si miskin atau orang yang
kuat ekonominya terhadap yang lemah ekonominya.50
3) Untuk
menyelamatkan ketergantungan umat Islam dengan bank Non Islam yang
menyebabkan Islam berada di bawah kekuasan bank, sehingga umat Islam
tidak bisa menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupan pribadi dan
masyarakat terutama dalam, kegiatan bisnis dan perekonomiannya.51
Untuk mengaplikasikan ketentuan kaidah fiqh:
“الخروج
من الخلاف مسحت” (menghindari perbedaan pendapat ulama itu sunnah
hukumnya). Sebab ternyata hingga kini ulama-ulama dan cendekiawan muslim
masih berbeda pendapat tentang hukum bermu'amalat dengan bank
konvensional,karena masalah bunga bank yang masih tetap kontroversial
(haram/ syubhat/ halal).52
Dari uraian di atas, menjadi jelas
bahwa kebanyakan masyarakat muslim tidak setuju pinjaman yang ada
bunganya. Tiga belas abad yang lalu, sebelum datangnya imperialis,
masyarakat muslim mengelola perekonomiannya dan menyelenggarakan
perdagangan domestik dan internasional tanpa adanya bunga.
Para
penulis terdahulu hampir semuanya mencoba mengkritik perbankan modern
dengan membeberkan peranan bunga dalam pemerasan individu dan bangsa.
Kemudian mereka menyarankan bentuk persekutuan bagi hasil sebagai suatu
dasar yang dapat dilaksanakan bagi perbankan. Beberapa ahli ekonomi
dengan latar belakang ilmu syari'at menciptakan suatu model perbankan
bebas bunga berlandaskan dasar-dasar bagi hasil. Kesimpulannya
riba/bunga menurut hukum Islam dilarang kecuali ada ketentuan-ketentuan
lain. Sedangkan bagi hasil diperbolehkan.